Mukenah Ny Rahmatun Tertinggal Di Becak
Ny Rahmatun (6) Ketika Mukenahnya Tertinggal Di Becak
Oleh: Milatul Hasanah
Ny Rahmatun, seorang ulama dan dai perempuan yang menghabiskan sebagian banyak hidupnya untuk berdakwah, merupakan sosok perempuan yang istikamah, bertanggung jawab serta menjaga nilai-nilai ajaran Islam yang merupakan prinsip pokok yang selalu di tanamkan oleh beliau kepada diri, keluarga dan masyarakatnya.
Salat baginya merupakan suatu kewajiban utama yang harus di nomor satukan dari pada kewajiban-kewajibann yang lain. Karena menurut beliau salat adalah amal yang akan di hisab pertama kali oleh Allah di akhirat kelak. Jika nilai amal salatnya baik maka kesempatan masuk surga lebih cepat, dan jika nilai amal salatnya buruk maka amal-amal yang lain masih antre, yang hal itu menyebabkannya harus transit dulu di neraka.
Oleh karenanya, salah satu kebiasaan yang hampir tidak pernah di tinggalkan beliau selalu membawa peralatan salatnya kemanapun beliau pergi, sehingga menurut Supyati, salah seorang santrinya yang hingga detik ini masih hidup, di buat kerepotan saat membawakan peralatan salatnya tersebut, karena terdiri dari sajadah, mukenah, sarung untuk berwudu, tasbih dan Al-Quran kecil. Dan ruwetnya lagi, Supyati juga di sarankan agar membawa serta peralatan salatnya sendiri.
Hal itu beliau lakukan bukan tanpa alasan. Mengingat saat itu, sekitar tahun 1980-an, masih jarang sekali masjid dan musala-musala umum yang menyediakan peralatan salat. Sedangkan salat baginya, merupakan perkara yang dalam kondisi apapun tidak boleh di tinggalkan.
Salah satu hadis Nabi yang sering beliau ucapkan dan selalu di ingat oleh Supyati “ Asshalaatu imadud din faman aqaamaha faqad aqaamad din waman hadamaha faqad hadamad din” (Salat adalah tiang agama Islam, barang siapa mendirikanya, sungguh ia telah menegakkan agama Islam itu, dan barang siapa meninggalkannya, sungguh ia telah merobohkan agama Islam itu).
Sebenarnya membawa peralatan salat kemanapun pergi merupakan kebiasaan Ny Rahmatun sejak kecil saat beliau dalam asuhan ayahnya, yang secara tegas menasehatinya agar jangan pernah meningalkan salat, dan sebisa mungkin melakukan salat di awal waktu.
Terkait hal itu beliau pernah menceritakan saat dirinya masih kecil, biasanya sehabis sekolah beliau mengajak teman-temannya mencari buah duwet di sekitaran bukit bhujuk Moncek (puncak bukit di desanya yang terdapat makam seorang Wali).
Biasanya mereka berangkat kira-kira pukul 10. Dan saat azan tiba beliau akan di cari dan di panggil oleh ayahnya, kiai Nur dengan suara yang lantang sampai dapat menemukan keberadaannya. Bahkan tidak jarang mengutus santri untuk menjemputnya. Hal itu membuatnya kalang kabut jika di temukan tidak salat di awal waktu.
Dan ketika sampai di rumah, acap kali tanpa wudu apalagi cuci kaki Rahmatun kecil langsung melompat ke atas sajadah dan memakai mukenahnya serta membaca Al-Quran demi mengelabui ayahnya agar di kira sudah salat.
Beberapa jamaah pengajian beliau juga seringkali bercerita ketika mereka berada dalam satu rombongan ziarah ke makam para Wali di luar Madura. Biasanya satu hari sebelum keberangkatannya bersama rombongan itu, beliau selalu berpesan agar membawa serta peralatan salatnya. Awalnya mereka merasa keberatan, namun lama-lama sudah terbiasa dengan hal itu, bahkan sampai sekarang terus di lakukan.
Supyati juga bercerita bahwa pernah suatu hari, pada tahun 1980-an, Supyati dia dengan tidak sengaja meninggalkan peralatan salat Ny Rahmatun di salah satu becak tumpangannya di kota Sumenep saat beliau selesai memenuhi undangan ceramah dan kemudian pergi berbelanja ke pasar Anom. Dan dalam kepulangannya dari berbelanja, saat melewati kecamatan Bluto masuklah waktu salat duhur. Beliau dan Supyati pun berhenti di sebuah masjid yang tidak menyediakan peralatan salat sama sekali.
Setelah ngaso (beristirahat namun tidak tidur) sebentar, lalu beliau menyuruh Supyati untuk mengeluarkan peralatan salatnya itu dari kantong plastik. Namun Supyati baru menyadari kalau peralatan salat tersebut ketinggalan di atas becak.
Namun tanpa ekspresi kemarahan sedikitpun, Ny Rahmatun pun mengajak Supyati agar menumpang salat di rumah salah satu warga setempat. Sambil berjalan, beliau bergumam kepada Supyati “Tak kerah bedeh oreng se peggel polanah romanah ekampongih abejeng, kajebenah ekampongih ngakan otabeh tedung” (Tidak akan ada orang yang merasa keberatan hanya karena rumahnya di tumpangi salat, kecuali di tumpangi makan atau tidur), Selorohnya.
Post a Comment for "Mukenah Ny Rahmatun Tertinggal Di Becak"