NYIMPEN TENTANG UMMI
(1): Penerobos Sekat Gender
Ini kisah tentang sosok Nyai
Rahmatun, perempuan pendakwah yang mampu mengangkat marwah kaumnya di
tengah-tengah masyarakatnya yang patriarkis. Ia akan terus menjadi sosok
inspiratif bagi perempuan Madura untuk menggapai masa depan yang lebih baik.
Sosoknya akan ditulis secara berseri, dimulai dari masa kecilnya saat ia masih
gadis cilik namun sudah menaklukkan dunia laki-laki.
Ia terlahir dengan nama Rahmatun.
Lahir di Sumenep, Madura, tepatnya di Desa Moncek, Kampung Tengah, pada 15 Juni
1943. Ia wafat di tempat kelahirannya pada 14 September 2019, atau 14 Muharram
1441 Hijriah, dalam usia 76 tahun.
Nyai Rahmatun adalah salah satu
putri dari KH Muhammad Nur bin KH Abdul Karim bin KH Zaidin bin Syekh
Farwiyah bin Syekh Rembang bin Syekh Umar Al-Yamani dari Kudus. Ibundanya
adalah Nyai Zahrah.
Dalam usia 14 tahun, Nyai
Rahmatun dinikahi oleh sepupunya sendiri, yang tak lain adalah K Ali Wafa.
Pernikahan terjadi 1959 dengan maskawin uang dua ringgit. Akad nikah pasangan
ini dilakukan di Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa, tempat mondok suaminya.
Mereka menikah dihadapan Almaghfur lahu KH Muhammad Ilyas. Dan dari
pernikahannya ini, Nyai Rahmatun dikaruniai 9 anak; lima laki-laki dan empat
orang perempuan. Meraka adalah Alimah, Ahmad Wakid, Fachruddin Arrazy, Fauzan
Adzima, Ma’rufah, Ali Faruq, Mursyid Afif, Nuria Ulfah Tamamah, dan Milatul
Hasanah.
Rahmatun tergolong sosok
perempuan yang cukup, pintar, cerdas, dan hiperaktif. Salah satu tandanya
adalah selalu ingin tahu banyak hal. Seperti diceritakan oleh Manidah (kini
almarhumah). Suatu hari, ayahnya, K Nur, melarang Rahmatun bermain dekat-dekat
pohon sawo. Sembari ditakut-takuti bahwa banyak jin yang bersarang di pohon
sawo.
Namun, secara diam-diam, Rahmatun
justru mengajak teman-temanya yang sekaligus santri, bukan bermain di bawah
rindangnya pohon sawo, namun malah memanjatnya. Bukannya takut, malah penasaran
dengan sosok jin.
Saat itu, pada awalnya
teman-temannya menolak ajakannya karena takut. Tak kurang akal, Rahmatun yang
masih gadis kecil itu meyakinkan teman-temannya bahwa justru jin yang akan
ketakutan kepada manusia yang membaca taawwudz, ayat
kursi, dan kalimat-kalimat thayyibah lainnya.
Jin itu, katanya kepada teman-temannya, akan lari terbirit-birit dan terbakar
oleh bacaan-bacaan itu. Atas bujukannya itu, teman-temannya menjadi luluh, dan
sambil komat-kamit mulailah mereka satu per satu memanjat pohon sawo hingga ke
atas — dan tentu saja mereka tidak pernah melihat jin di sana.
Ditinggal wafat oleh ibunya pada usia 4 tahun, menjadikan
Rahmatun terbiasa hidup mandiri sejak belia. Ia hanya diasuh oleh ayahnya, K
Nur, dengan dibantu para santri putri. Maka, tidak heran jika Rahmatun tidak
sempat bermanja-manja seperti anak kecil pada umumnya.
Pada usia 7 tahun, Rahmatun telah
dipondokkan oleh ayahnya di rumah kakeknya sendiri di Desa Pangurai, Sumenep.
Di pondok itulah Rahmatun besama santri-santri yang lain belajar dan mengaji kitab
di Madrasah Muallimin atau setara Madrasah Diniyah dengan sistem halaqah. Materi yang dipelajari waktu itu antara lain
ilmu tajwid, tauhid, hahu-saraf, fikih, tarikh Islam, akhlak, dan juga
diajari tulis menulis latin.
Tidak berhenti di situ. Setelah berhenti
mondok dan menikah, Rahmatun tetap ngasok (belajar
secara otodidak) kepada kakak-kakaknya sendiri, di antaranya, belajar tafsir
Al-Quran dan Hadis kepada KH Syamsul Arifin Nur yang lulusan Mekkah; belajar
fikih dan ilmu alat seperti nahu, i’lal-saraf, dan balaghah kepada KH
Abdul Khalik Nur; dan belajar Bahasa Arab dan tarikh Islam kepada K Muhammad
Amin Nur. Bahkan, Rahmatun juga tidak gengsi belajar kepada adiknya sendiri
yang alim allamah K Abdul Wahid Nur.
Kebiasaan sejak kecil yang doyan
memberi nasihat ini terbawa hingga ke masa dewasa, membentuk jiwa pendakwah
dalam dirinya. Karena itu, semangatnya untuk menyebarkan ilmu dan
pengetahuannya terus menyala-nyala. Untuk kepentingan itu Rahmatun mendirikan
perkumpulan majelis taklim dan zikir untuk perempuan di desanya sendiri.
Belakangan, jamaahnya ternyata juga dating dari luar desanya.
Pembawaanya yang humoris, diplomatis, dan supel menjadikan
pergaulannya sangat luas. Hingga akhirnya, atas dukungan, motivasi, dan rida
dari suaminya, Rahmatun pun bermetaforma menjadi seorang pendakwah, dan selalu
memenuhi undangan ceramah. Tak hanya di berbagai daerah di Pulau Madura, bahkan
hingga ke luar pulau.
Seperti diceritakan oleh H Aswal
dan istrinya dari Desa Poreh Lenteng (yang saat ini masih hidup), bahwa saat
menjabat kepala Madrasah Ibtidaiyah sekitar akhir tahun 1970-an sampai awal
1990-an, Rahmatun tercatat menjadi satu-satunya kepala sekolah dari kalangan
perempuan waktu itu.
Masa-masa itu ia juga sering
diundang untuk ceramah oleh KH Imam Hasyim, ayahanda dari Alm Prof Dr KH Ahmad
Imam Mawardi, untuk memberi taushiyah di
kediamannya, Desa Poreh Lenteng pada acara Akhirussanah dan khatmil Quran di
sana. KH Imam Hasyim yang saat itu menjabat sebagai pengawas madrasah
se-Kecamatan Lenteng dan sering bertamu ke kediamannya untuk mengawasi dan
memberikan arahan seputar kurikulum pendidikan, juga pernah minta didoakan agar
kelak memiliki putra seorang dai masyhur seperti dirinya.
Menurut Suwaibah, salah satu santrinya yang juga masih hidup,
salah satu materi ceramah Nyai Rahmatun yang selalu diingat adalah tentang
derajat perempuan di sisi Allah dan Rasul. Bahwa, perempuan juga diberi hak dan
kesempatan yang seluas-luasnya untuk berdakwah dan menyebarkan ilmu
pengetahuan. Seperti halnya dilakukan oleh istri Nabi, Siti Aisyah ra, yang
meriwayatkan banyak sekali hadis Nabi dan mengajar sahabat-sahabat dari kaum
perempuan dan kalangan laki-laki.
(2): Belajar Politik Jadi Jurkam
Bukan hanya dikenal sebagai
pendakwah. Nyai Rahmatun ternyata juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial
kemasyarakatan. Juga aktif di sebuah organisasi massa perempuan yang diakui
secara nasional. Bahkan pernah menjadi juru kampanye (jurkam) partai politik
saat pemilihan umum di masa itu. Namun panggung politik itu segera ditinggalkannya.
“Hanya untuk belajar politik,”
demikian Nyai Rahmatun beralasan.
Saat itu, pada awal 1990-an, di
desanya, Desa Lenteng Barat, ada tokoh yang sangat berpengaruh, masyhur, kaya
raya, namun nyentrik dan controversial. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai
waliyullah. Tokoh tersebut tak lain adalah KH Masyhurat.
KH Masyhurat ini sering
mengundang Nyai Rahmatun untuk berceramah. Bahkan, sudah menjadi langganannya.
Setiap KH Masyhurat mengadakan acara, yang diundang untuk berceramah ya Nyai
Rahmatun. Karena itu, ketika KH Masyhurat menggelar kampanye untuk partai yang
didukungnya, yang diminta menjadi jurkam ya Nyai Rahmatun juga. Bahkan, saat
itu, Nyai Rahmatun ini satu-satunya jurkam perempuan.
Karena itu, setiap
penyelenggaraan pemilu, jadwal kampanye Nyai Rahmatun sudah pasti penuh. Hal
itu berdampak pada aktivitas dakwahnya. Banyak undangan ceramah yang tidak bisa
dihadiri atau dibatalkan. Lama-lama,
Nyai Rahmatun akhirnya menyadari bahwa keterlibatannya dalam dunia politik
hanyalah bersifat sementara dan bukanlah menjadi prioritas utamanya. Niatnya
hanya ingin tahu seluk beluk kehidupan politik praktis di tanah air, khusunya
di daerahnya.
Yang menjadi perhatian utamanya
tetaplah bagaimana mengayomi masyarakat, khususnya kaum perempuan di bidang
ilmu pengetahuan, yang dalam hal ini ilmu keagamaan. Sehingga pada akhir tahun
1990-an, atas inisiatif sendiri, Nyai Rahmatun tidak aktif lagi dan berhenti
total di partai politik mana pun.
Setelah turun dari panggung
politik, selanjutnya Nyai Rahmatun dapat mengabdikan seluruh waktunya untuk
kepentingan dakwah. Dengan selalu didampingi suaminya, kini Nyai Rahmatun dapat
memenuhi semua agenda dakwahnya.
Bahkan, di antara agenda dakwahnya yang menarik adalah blusukan
ke ke desa-desa terpencil, seperti Desa Kotabang Ganding, Bataal, Rombiya,
Karduluk, Banaresep, dan lain sebagainya. Di desa-desa terpencil itu, Nyai
Rahmatun selalu mengajak dan mendorong kaum perempuan untuk mempelajari ilmu
pengetahuan sebanyak mungkin tanpa mengenal batasan usia, status, dan profesi,
dengan “pendekatan kekeluargaan”. Sehingga masyarakat merasa nyaman karena
tidak adanya kesenjangan antara dirinya sebagai pendakwah dengan mereka sebagai
masyarakat awam.
Selain itu, Nyai Rahmatun juga
pernah mendirikan perkumpulan khusus remaja putri dan satu kelompok lagi
khusus para perempuan lansia. Di perkumpulan remaja putrid, Nyai Rahmatun
menginisiasi program pembinaan bakat seperti murotal Al-Quran bit taghanni (dengan lagu dan irama tertentu),
baca puisi, mendendangkan selawat Nabi, pidato dalam bahas Madura, dan
lain-lain yang diadakan di rumah masing-masing anggota perkumpulan secara
bergilir. Sedangkan, untuk para lansia, Nyai Rahmatun mengajarkan baca tulis
Arab dan Latin, seperti huruf abjad dan huruf hijaiyah, yang juga diadakan di
rumah masing-masing anggota secara bergiliran.
Terobosan lain yang digerakkan
Nyai Rahmatun adalah kampanye menolak pernikahan anak-anak di usia dini.
Gerakan ini wajar, mengingat saat itu mayoritas perempuan pedesaan menikah pada
usia yang sangat muda, yaitu kelas 4 atau kelas 5 SD atau umur 10 sampai 12
tahunan. Dan, jarang sekali ada perempuan yang menamatkan Sekolah Dasar.
Saat itu, memang hanya anak
laki-laki yang dituntut untuk menamatkan Sekolah Dasar atau melanjutkan ke
tingkat yang lebih tinggi. Hanya laki-laki juga yang diperbolehkan menikah dan
bekerja setelah lulusan sekolah. Sedangkan, bagi anak perempuan, ketika sudah
menikah, mereka dilarang untuk bersekolah. Juga tidak diperbolehkan aktif di
ranah publik karena dianggap sudah mempunyai tanggung jawab moril di ranah
domestik.
Padahal, menurut Ny Rahmatun,
seperti yang diceritakan oleh Nazirah yang merupakan salah seorang anggota
majelis taklimnya (yang sekarang masih hidup), seharusnya laki-laki dan
perempuan diperlakukan sama dalam hal pendidikan. Status suami-istri tidak
boleh disamakan dengan dengan atasan dan bawahan, tetapi sebagai mitra yang
saling menghormati, menyayangi, melengkapi, dan menghargai satu sama lain.
Maka salah satu cara untuk
memuluskan terobosan terbarunya tersebut, santri dan siswa yang mengenyam
pendidikan di lembaganya tersebut disarankan agar menyelesaikan pendidikan
formalnya, minimal di tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau Madrasah
Aliyah (MA), sambil diberi pemahaman kepada wali santri dan murid akan
pentingnya ilmu dan pendidikan bagi kaum perempuan.
Untuk menyasarkan masyarakat,
terutama kaum perempuan, akan pentingnya ilmu, Nyai Rahmatun selalu menyitir
potongan ayat Al-Quran surat Al-Mujaadalah ayat 11, yang artinya “Niscaya
Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha teliti terhadap
apa yang kamu kerjakan.
Selain itu, Nyai Rahmatunbeliau
juga mempopulerkan slogan “Belajar di waktu kecil bagai
mengukir di atas batu, dan belajar sesudah dewasa laksana mengukir di atas air.”
Keadaan yang menyedihkan semacam itu perlahan namun pasti
semakin terkikis oleh kegigihannya dalam melakukan perubahan total akan
model-model lama, yang memosisikan perempuan “hanya” sebagai empu penjaga kasur, sumur, dan dapur, dan tidak
berhak mengenyam pendidikan setinggi mungkin.
(3): Perjuangan Menjadi Penulis
Tak hanya berceramah di atas
mimbar, Nyai Rahmatun Nur ternyata mempunyai bakat menulis. Ia kemudian banyak
menulis buku atau kitab dengan cara “paling tradisional”: menulis buku dengan
tangan, bukan mesin tik atau bahkan komputer. Yang menarik, suaminyalah, Kiai
Ali Wafa, yang menjadi juru tulisnya, yang memang dikenal menguasai seni
kaligrafi.
Bersama pasangan hidupnya
tersebut, berbekal buku tulis serta pena (ball point), serta
pensil, mereka berdua tekun menulis. Nyai Rahmatun yang mendiktekan gagasannya
dalam kalimat, Kiai Ali Wafa yang menuliskannya baris demi baris.
Tentu saja, karena di zaman itu
di desanya belum ada mesin fotokopi, setiap judul buku atau kitab karya Nyai
Rahmatun hanya ada satu eksemplar. Untuk menggandakannya, mau tak mau Kiai Ali
Wafa harus menulis ulang. Dengan cara itu, buku karya Nyai Rahmatun bisa
diperbanyak untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat setempat. Begitulah
perjuangan Nyai Rahmatun untuk bisa melahirkan sebuah buku: cukup banyak
menyita waktu, tenaga, dan pikiran.
Baru pada 1990-an terdapat satu
toko penyedia mesin fotokopi di sekitar pesantren di Guluk-Guluk dan satu lagi
di Kecamatan Ganding. Maka, semakin mudah bagi Nyai Rahmatun untuk menyebarkan
gagasannya melalui buku —meskipun masih dalam bentuk fotokopian dari tulisan
tangan.
Namun, karena jasa fotokopi bukan
hal yang gratis, ditambah lagi semakin banyak kitab yang harus dibagikan kepada
jamaahnya sebagai materi pengajian, dan permintaan yang semakin bertambah, maka
pembagian kitab-kitab tersebut tidak lagi digratiskan lagi. Namun, jamaah
diberi kebebasan untuk membayarnya kapan saja sebagai biaya foto kopi.
Di antara karya tulis Nyai Rahmatun yang sampai saat ini terus
diperbaharui adalah kitab Adzkaarus Shalah,
yang memuat bacaan-bacaan salat fardhu dan sunah, doa-doa dan zikir-zikir
setelah salat wajib dan sunah, serta zikir-zikir yang secara umum bisa dibaca
di mana saja dan kapan saja.
Selain itu, masih ada puluhan
macam selawat Nabi juga terdapat di dalamnya. Zikir-zikir dan bacaan-bacaan
selawat tersebut, setelah diteliti oleh beberapa ahli agama, bukanlah
amalan-bacaan yang sembarangan, tetapi sanadnya jelas bersumber dari Al-Quran
dan hadis-hadis Nabi serta dari ulama-ulama salaf yang sufi, faqih, dan kompeten di bidang ilmu agama.
Karya tulis beliau berikutnya
adalah Aqaaidul Khamsiin, yang berisi tentang tauhid yang
mencakup sifat-sifat dan nama-nama Allah, nama-nama para Nabi dan Rasul dan
risalah-risalah mereka, nama-nama para malaikat dan tugas-tugasnya, kisah-kisah
seputar alam mahsyar, alam kubur, alam mizan, hisab, hari kiamat, neraka,
surge, dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah dan keimanan.
Berikutnya adalah kitab Suratul Kahfi dan maknanya dalam bahasa Madura, Suurotu Yaa siin dan maknanya dalam bahasa
Madura, dan Suuratu Maryam dan maknanya dalam
bahasa Madura. Ketiga kitab tersebut ditulis atas rekomendasi dan izin
kakaknya, KH Syamsul Arifin Nur, sebagai guru tafsirnya. Dalam mengajarkan
kitab-kitab tersebut Nyai Rahmatun memang sengaja tidak menyertakan ke dalam
tulisannya tersebut tafsir dan penjelasannya, karena kehati-hatiannya dalam
menafsirkan suatu surat atau ayat Al-Quran.
Oleh karena itu, dalam setiap
kesempatannya pengajian, biasanya Nyai Rahmatun selalu berkonsultasi terlebih
dahulu kepada gurunya tersebut, sambil membaca kitab-kitab tafsir lainnya yang
tentunya berbeda-beda.
Karena kegemarannya membaca dan
menulis, maka konon setiap alumni yang bekerja di Arab Saudi menelepon dan
menawarinya untuk dikirimi sesuatu. Biasanya Nyai Rahmatun minta dikirimi
kitab.
Ada beberap kitab kiriman
santrinya yang sampai saat ini masih terpelihara, di antaranya Ihya Ulumuddin juz 1-3, kitab Al-Ummu juz 1-5, dan beberapa kitab tafsir,
tasawuf, dan fiqih. Dan hingga pada usia di atas setengah abad, Nyai Rahmatun
tidak segan-segan belajar dan mengaji kitab-kitab tersebut kepada
menantu-menantunya yang pernah ada, di antaranya lulusan Pesantren Sidogiri dan
pesantren-pesantren besar lainnya, dengan penuh sifat wara dan rendah hati.
Karya tulis beliau berikutnya
adalah Kitabul Fiqhi. Kitab tersebut didaur ulang oleh
penerusnya menjadi dua versi. Ada versi Arab dan ada versi Latin. Hal itu untuk
mempermudah siapa saja yang mempelajarinya, baik dari kalangan orang tua kuno yang tidak bisa tulisan Latin maupun kalangan
muda modern yang semakin jarang pandai tulisan Arab.
Hingga saat ini, kitab-kitab karya Nyai Rahmatun tersebut
dijadikan salah satu materi wajib Madrasah Diniyah, majelis-majelis taklim dan
majelis-majelis zikir yang pernah dirintisnya, yang kemudian dilestarikan oleh
penerusnya.
(4): Digandrungi Para Calon Kades
Ada fragmen hidup Nyai Rahmatun,
di tengah ketekunannya berdakwah, menulis, dan berorganisasi, menjadi rujukan
orang-orang yang hendak bertarung berebut jabatan kepala desa. Tak hanya di
desanya sendiri, Moncek Tengah, tapi juga datang dari desa-desa lain di wilayah
Sumenep. Dan jago memperoleh doa dan amalan darinya tak pernah kalah.
Sesungguhnya, Nyai Rahmatun
sendiri sering merasa risih dan menolak keinginan orang-orang yang berebut
takhta desa itu untuk diberi doa-doa atau amalan-amalan tertantu agar memenangi
kontestasi. Nyai Rahmatun tak mau dianggap sebagai seorang dukun atau orang
sakti yang bisa memberi syarat-syarat dan mantra-mantra tertentu. Ia juga telah
menjauhi panggung politik dan lebih fokus di dunia keilmuan dan pendidikan
agama.
Namun, karena selalu didesak
untuk dimintai sedikit petuah dan semacam amalan atau bacaan-bacaan pendek agar
memperoleh aliran berkah, maka Nyai Rahmatun menjadikan momen-momen seperti itu
sebagai jalan dakwah. Maka, pertama-tama, nasihatlah yang diberikan kepada para
calon petinggi desa itu.
Pesannya sederhana namun mengena:
harus selalu berlapang dada jika kalah dalam pencalonannya, dan sebaliknya,
harus rendah hati serta dekat dengan masyarakatnya ketika memenang kontestasi.
Karena, menjadi pemimpin, apalagi di ranah publik, kelak akan dimintai
pertanggungjawaban oleh Allah. Nasihatnya selalu dibumbui dengan hadis Nabi
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Kullukum raa’in wa kullukum
masῠlun an rᾰiyatihi” (Setiap kalian adalah pemimpin, dan
masing-masing kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya
itu).
Setelah itu, barulah Nyai Rahmatun memberikan amalan, biasanya
berupa bacaan salah satu dari Asmaul Husna. Yaitu, Ya Shamad (wahai Allah Zat yang menjadi tempat
bergantung). Para calon kepala desa itu diminta membaca Ya Shamad sebanyak 1000-4000 kali, dan dilanjutkan
dengan membaca salah satu ayat Al-Quran, surat Yusuf ayat 4, “Inni roaitu ahada asyara kaukabaw wasy syamsya wal qamara
roaituhum lii saajidiin” (Sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas
bintang, matahari, dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku). Ayat ini dibaca
sebanyak 41 kali saban malam selama 40 hari.
Usut punya usut, amalan bacaan
tersebut diperoleh dari suami sekaligus gurunya sendiri, K Ali Wafa, yang telah
mendapat ijazah dari salah satu pengasuh pesantren salaf,
yaitu Pondok Pesantren Al-Karawi Karai Ganding, Sumenep.
Nasihat dan amalan yang diberikan oleh Nyai Rahmatun ternyata
mustajab. Dari puluhan calon kepala desa yang pernah meminta petuah dan amalan
bacaan tersebut, tidak ada satupun yang kalah. Bahkan H. Fauzi, yang pernah
menjabat sebagai kepala desa Moncek Tengah selama dua decade, sejak 1970-an
sampai 1990-an, mengaku bahwa perjalanannya menjadi petinggi desa berkat
pendampingan yang diberikan Nyai Rahmatun.
Berkat “pendampingan” itu pula, Nyai Rahmatun akhirnya secara
rutin, dua kali dalam sebulan, diundang ke Desa Kotabang untuk mengisi
pengajian alias dakwah. Dengan cara memberi nasihat dan amalan seperti ini,
secara otomatis Nyai Rahmatun telah memperluas medan dakwah dan ladang
penyebaran ilmunya.
(5): Dipersekusi Ulama Radikal
Perjalanan dakwah almarhumah Nyai
Rahmatun tidak selalu berjalan mulus. Ia kerap mengalami kisah pilu, berliku,
dan menguras emosi. Bahkan, apa yang ia alami tak jarang mengundang kemarahan
dari orang-orang yang menghormati dan menyayanginya.
Sebagai dai perempuan yang
ditekuninya sejak remaja, yaitu antara tahun 1960-an sampai 2000-an awal, tidak
jarang Nyai Rahmatun memperoleh perlakuan tak mengenakkan, semacam persekusi.
Ada pihak-pihak atau kelompok memperlakukannya semena-mena. Ada yang
mempersulit jalan dakwanya. Ada pula yang mengancam keselamatan jiwanya. Ada
pula kelompok “radikalis” yang tidak menghendaki pendakwah perempuan eksis di
ranah publik.
Waktu itu memang jarang sekali
ada dai perempuan yang berani tampil dari panggung ke panggung, kecuali ada
satu dua saja. Sehingga, Nyai Rahmatun menjadi pusat perhatian khalayak karena
menjadi dai perempuan terpopular saat itu.
Banyak sekali sumber-sumber yang
menceritakan hal itu kepada penulis, mulai dari para orang tua kuno dan anak muda yang mendengar dari kakek nenek
mereka yang mengikuti perjalanan dakwah Nyai Rahmatun.
Samirah, seorang warga desa
Moncek Tengah bercerita, bahwa pada sekitar tahun 1970-an almarhumah Nyai
Rahmatun, yang telah mendapat restu dari suami dan guru-gurunya untuk berdakwah
di ranah publik, kerap mendapat sepucuk surat berisi cemoohan dan cacian yang
tidak etis diucapkan.
Surat itu dating dari “ulama
radikal” yang meminta agar Nyai Rahmatun berhenti berdakwah dan berceramah di
atas panggung maupun pengajian-pengajian yang diadakan di rumah-rumah warga
secara bergiliran.
Tidak sampai di situ, Nyai
Rahmatun juga seringkali menerima pesan dari “si ulama radikal” tersebut
melalui orang yang sengaja diutus untuk menyampaikan larangannya itu. Sebab,
menurutnya, suara perempuan tidak pantas didengarkan laki-laki karena
diangggapnya sebagai aurat dan haram hukumnya. Perempuan juga dianggap tidak
tahu malu jika berjalan di jalanan umum, meskipun untuk menghadiri majlis
taklim maupun majlis zikir.
“Sungguh kami sangat sedih
mendengar hal itu,” ucap Samirah suatu hari.
Namun, segala ancaman itu tidak diindahkan oleh Nyai Rahmatun
demi tekadnya yang sudah bulat untuk memberdayakan kaum perempaun tempo dulu,
khususnya remaja dengan ilmu pengetahuan agama, dan menanamkan serta
menumbuhkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan untuk menempuh pendidikan yang
lebih tinggi.
Oleh karenanya, Nyai Rahmatun
tetap melalui tantangan dan rintangan tersebut dengan ikhlas. Hingga sampai
pada suatu kejadian yang, menurut banyak masyarakat dan santri-santrinya, tidak
pernah bisa dilupakan.
Hal mengerikan tersebut terjadi
ketika “si ulama radikal” melakukan persekusi kepada almarhumah Nyai Rahmatun
dengan senjata tajam. Ulama radikal ini mengadang serta memburu Nyai Rahmatun
beserta kelurganya, dengan tujuan hendak menghabisi nyawanya. Nyai Rahmatun dan
suaminya yang berlari menghindari hal itu sampai terjatuh dengan luka-luka
bersimbah darah.
“Saya kalau ingat itu tidak bisa berhenti nangis sampai sekarang,” kata
Samirah sambil berlianang air mata.
Masyarakat yang menyaksikan
langsung kejadian itu dengan mata kepala mereka, dengan sigap menyembunyikan
Nyai Rahmatun dan keluarganya di suatu tempat hingga akhirnya mengungsikannya
ke daerah lain, yaitu desa perbatasan antara Moncek Barat dengan Bilapora.
H Rifa’i, seorang pedagang sukses
yang disegani dan terpandang di desanya, yang mati-matian membela Nyai
Rahmatun, sempat menghadapi “si ulama radikal” tersebut dengan tangan kosong
“Sungguh mengerikan saya
melihatnya,” kata Samirah sambil menutup wajahnya. “Sampai salah satu lengannya terluka oleh senjata tajam tersebut,”
lanjutnya.
Dengan terlukanya H Rifa’i,
ternyata membuat keluarga besarnya tidak terima dan melaporkannya ke polisi.
“Si ulama radikal” tersebut akhirnya mendekam di penjara untuk beberapa lama.
Selama pengungsiannya di desa
lain itu, Nyai Rahmatun dan keluarganya diperlakukan secara terhormat oleh
penduduk setempat. Bahkan ada yang sampai menawarkan sebuah lahan dan beberapa
pohon kelapa dan jati serta alat-alat bangunan lainnya untuk dibangun sebuah
rumah bagi Nyai Rahmatun beserta keluarganya sekaligus untuk pesantren.
Mendengar hal itu, Nyai Rahmatun
tidak langsung menerima, namun juga tidak menolak tawaran tersebut, mengingat
setiap hari dan malam, masyarakat Moncek Tengah secara berbondong-bondong
mengunjunginya dan keluarganya dengan membawakan makanan, pakaian, dan
kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Di saat yang, masyarakat dari
desanya terus membujuk Nyai Rahmatun agar kembali pulang ke desa asalnya, dan
berjanji akan menjamin keselamatannya. Mereka juga menceritakan bahwa “si ulama
radikal” yang mempersekusinya itu sudah berhasil mereka jebloskan ke dalam
penjara.
Sementara itu, rumah kediaman
Nyai Rahmatun Nur di Desa Moncek Tengah dijaga ketat oleh aparat keamanan
(polisi) dan masyarakat, karena dikhawatirkan akan ada pihak-pihak yang
bersekongkol dengan “si ulama radikal” untuk memata-matai keadaan sekitar.
Dan seperti yang diceritakan juga
oleh Supyati, Atiyah, dan masih banyak lagi, kediaman Nyai Rahmatun itu
dipenuhi dengan makanan pokok; seperti gula, beras, kopi, minyak, rokok, telur,
kambing, ayam, pakaian, dan juga perabotan rumah tangga yang dibawa oleh
masyarakat untuk diberikan kepada Nyai Rahmatun setelah pulang.
“Pokoknya seru,” kata
Supyati sambil tetawa sekaligus menangis, mengenang kejadian itu.
Dengan iring-iringan masyarakat
Moncek Barat dan Bilapora, akhirnya Nyai Rahmatun kembali pulang ke desa
asalnya itu dengan disambut suka cita oleh masyarakat setempat. Dan yang
menarik, ada masyarakat yang menyambutnya dengan tabuhan hadrah dan selawat,
anak-anak kecil yang menari dan para orang tua yang memasak masakan enak dan
banyak untuk menyambut Nyai Rahmatun dan keluarganya itu.
Suasana hangat dan meriah
sekaligus mengharukan itu mirip dengan kejadian saat kaum Ansor dari masyarakat
Madinah menyambut kedatangan Nabi Muhammad Saw beserta kaum Muhajirin yang
hijrah dari Mekah.
“Co locoh ngennes mun enga, (lucu
sekaligus sedih kalau ingat itu),” tutup Supyati dengan logat Maduranya.
(6): Pemikiran Modern Nyai Rahmatun
Nyai Rahmatun termasuk salah satu dai
dan tokoh masyarakat yang berpikiran modern. Banyak hal-hal yang bisa
dibuktikan dari pemikirannya tersebut. Salah satunya yaitu menyekolahkan
sebagian besar putra-putrinya ke Sekolah Dasar Negeri (SDN) milik pemerintah di
desanya. Padahal dirinya mempunyai sekolah sendiri yakni Madrasah Ibtidaiyah
Swasta (MIS) di bawah naungan Kemenag dan juga diakui oleh pemerintah, sehingga
lulusannya juga memiliki ijazah resmi. Hal itu terjadi pada sekitar tahun
1970-an sampai 1990-an awal. Alasannya sederhana, yaitu agar putra-putrinya
bisa mempelajari materi pelajaran umum dan bisa mengajarkannya nanti di sekolah
miliknya. Sehingga mereka tidak ketinggalan zaman.
Meski demikian, tidak sedikit
masyarakat yang tetap memilih bersekolah di madrasah miliknya dari pada ke SDN.
Padahal Nyai Rahmatun juga tidak melarang mereka bersekolah ke SDN. Dia
mempersilakan mereka secara bebas memilih apakah mau bersekolah di madrasahnya
atau bersekolah di SDN milik pemerintah. Karena baginya, semua ilmu sumbernya
dari Allah. Umat Islam boleh belajar Matematika dan pelajaran umum (sains)
lainnya, meski tetap wajib belajar ilmu pengetahuan agama.
Selain itu, Nyai Rahmatun juga
merekrut guru-guru SDN agar mengajarkan materi-materi yang sesuai dengan
kompetensinya seperti Matematika, IPA, IPS, PPKn, Bahasa Indonesia, Olah
raga, Kesenian dan pelajaran-pelajaran
umum lainnya di madrasah miliknya. Hal itu dilakukan karena Nyai Rahmatun
mengakui sendiri bahwa di madrasahnya memang kekurangan guru-guru materi
pelajaran tersebut. Kalaupun ada, tetapi mereka kurang kompeten di dalamnya.
Yang banyak malah guru-guru agama yang mengajarkan materi-materi lokal atau
kepesantrenan seperti; Nahu, Sharraf, Tafsir, Hadits, Tajwid dan kitab kuning.
Sebagai kepala madrasah swasta Nyai
Rahmatun membangun lembaganya tersebut bersama-sama dengan masyarakat, sehingga tentu mengalami kekurangan di sana
sini seperti infrastruktur serta sarana
dan prasarana. Kalaupun ada bantuan dari pemerintah, itu pun hanya setahun
sekali, berupa kapur tulis dan buku-buku
pelajaran. Selebihnya, Nyai Rahmatun secara mandiri membiayai
kebutuhan-kebutuhan sekolah, diantaranya seperti konsumsi dan transportasi
guru.
Pada masa itu, madrasah di bawah
asuhan Nyai Rahmatun tersebut memang
lebih banyak memuat materi-materi keagamaan karena memang ia berada di bawah
naungan pesantren. Namun demikian, ia bukan merupakan madrasah diniyah yang
biasanya masuk pada waktu sore atau bahkan malam hari. Tetapi masuk pada waktu
pagi sampai siang hari sebagaimana sekolah SDN. Sehingga untuk mengimbangi
pengetahuan anak-anak didiknya mengenai ilmu pengetahuan umum, maka kemudian
Nyai Rahmatun merekrut guru-guru SDN. Pada masa itu kesenjangan antara sekolah
swasta dengan sekolah negeri memang sangat kentara. Dan sikap Nyai Rahmatun
tersebut ingin menjembatani kesenjangan tersebut.
Menurut mantan kepala desa Moncek
Tengah, Haji Fauzi, Nyai Rahmatun merupakan satu-satunya tokoh agama dan dai
pada waktu itu yang berpikiran modern. “Beliau juga sangat menjaga hubungan
yang baik dengan pihak-pihak pemerintah dan sekolah-sekolah negeri”. Tutur
Haji Fauzi suatu hari.
Selain menyekolahkan putra-putinya ke
SDN dan merekrut guru-guru dari sana,
Nyai Rahmatun kerap membeli kapur tulis kepada pihak SDN, namun tidak
jarang mereka menggratiskannya. Bahkan mereka berharap agar Nyai Rahmatun tidak
segan-segan menyuruh anak didik maupun santrinya untuk memarani kapur tulis ke
SDN di desanya tersebut kapan saja.
Untuk menambah wawasan ilmu
pengetahuan bagi siswa dan santrinya, Nyai Rahmatun juga meminta izin kepada
pihak SDN untuk meminjamkan buku-buku dari perpustakaan di sana. Pihak SDN pun
menyambut niat baik Nyai Rahmatun
tersebut dengan senang hati. Dalam hal ini pihak SDN juga tidak keberatan jika
Nyai Rahmatun tidak usah mengembalikan buku-buku tersebut. Bahkan pihak SDN
membantu mengajukan bantuan buku-buku bacaan dari perpustakaan milik
pemerintah. Hampir setiap sebulan sekali Nyai Rahmatun selalu dikirimi
buku-buku seperti buku cerita, majalah, komik dan lain sebagainya dari pihak
SDN.
Dengan semakin bertambahnya koleksi
buku-buku bacaan di madrasah Nyai Rahmatun, maka ia berinisiatif untuk membuat ruangan khusus
perpustakaan. Tetapi karena masih kekurangan dana, maka salah satu
alternatifnya yaitu Nyai Rahmatun mengosongkan salah satu kelas di madrasahnya
untuk dijadikan ruang perpustakaan. Dan sejak saat itu, setiap jam istirahat
tiba, para siswa dengan leluasa membaca buku-buku dengan berbagai macam jenis
bacaan di ruang perpustakaan tersebut.
Pemikiran yang maju serta jalinan
silaturrahmi yang dibangun oleh Nyai Rahmatun dengan pihak SDN tersebut memantik kekaguman dari pihak SDN. Hal
itu disebabkan karena jarang sekali dilakukan oleh sekolah-sekolah swasta dan
tokoh masyarakat lainnya yang terkesan memusuhi pihak SDN. Di tengah-tengah
kondisi seperti itu Nyai Rahmatun justru berbeda, sehingga mereka menganggap
Nyai Rahmatun cukup pemberani.
Masyarakat juga banyak yang menilai
bahwa Nyai Rahmatun adalah tokoh dan dai yang modern. Sehingga tidak sedikit
anak-anak muda dengan tingkat pendidikan menengah ke atas merasa “nyambung”
ketika bertukar pikiran dengannya, padahal mereka tahu bahwa secara formal Nyai
Rahmatun tidak tamat sekolah dasar dan hanya menempuh pendidikan pesantren
salafi.
Ketika saya bertanya kepada salah
satu saudara Nyai Rahmatun, yaitu KH Mahdi, mengapa Nyai Rahmatun mempunyai
pemikiran yang modern? Kiai Mahdi menjawab, bahwa itu didapat dari pergaulannya
yang sangat luas. Nyai Rahmatun tidak pernah membatasi pergaulannya, terutama
dengan orang-orang perkotaan yang berpikiran lebih maju dan tingkat pendidikan
yang tinggi, sehingga hal itu mempengaruhi pemikirannya yang memang cukup
cerdas dan tajam.
Jika menoleh sebentar kepada sejarah
pendidikan di Indonesia pada masa lalu, yakni pada tahun 1970-an sampai dengan 1980-an,
dimana Nyai Rahmatun sedang aktif-aktinya mendidik dan berdakwah, memanglah
sangat pantas jika ia dikatakan orang yang berpikiran modern. Karena pada waktu
itu pemerintah melarang siswi atau murid perempuan yang bersekolah di SDN
memakai kerudung atau jilbab. Sedangkan Nyai Rahmatun yang notabene adalah
orang pesantren, keturunan kiai, dan memiliki lembaga pendidikan sendiri justru
menyekolahkan putra-putrinya ke SDN.
Hal itu sempat memantik pertanyaan di
kalangan ulama-ulama di kampung, yang
justru mewajibkan siswi atau murid perempuan memakai kerudung. Dan yang oleh
karena itu pula mewajibkan masyarakat agar menyekolahkan anak-anaknya di
sekolah-sekolah swasta atau madrasah dan melarang keras bersekolah di SDN. Sehingga
persaingan antara sekolah negeri dengan
swasta tidak dapat terelakkan. Bahkan yang lebih ekstrem, ada sebagian oknum
kiai yang mengajak masyarakat membakar sekolah-sekolah negeri dan berakhir di
meja hijau.
Pelarangan pemerintah memakai
kerudung kepada siswi SDN terjadi pada rezim Orde Baru. Mereka seakan-akan
alergi dengan simbol-simbol keislaman, meski mereka bukan berarti tidak
beragama Islam. Sehingga ada rumor soal ‘jilbab beracun’ dan rumor-rumor
lainnya serta stigma negatif yang cukup menggelisahkan umat Islam pada waktu
itu. Maka wajar saja jika para ulama khususnya yang berpikiran ektrem-radikal
mengecam keras sikap pemerintah di atas.
Oleh karena itu, masyarakat yang
cenderung kepada pemikiran yang ektrem enggan menyekolahkan anak-anaknya ke SDN
dan mencukupkan belajar di madrasah yang memfokuskan pada materi pelajaran
agama. Bagi kelompok masyarakat ini, pelajaran umum tidak penting. Yang penting
anak-anaknya tahu shalat dan ngaji. “Toh pada akhirnya orang desa hanya ke
ladang, gak kemana-mana.” Itu salah satu ungkapan masyarakat yang pada
waktu itu masih jumud dalam berpikir. Matematika, IPA dan yang sejenisnya bagi
mereka hanya untuk dipelajari oleh orang-orang modern-perkotaan. Pelabelan dan
pendikotomian antara ilmu agama dan ilmu umum yang hadir di tengah-tengah
masyarakat pada waktu sangat lantang disuarakan.
Di tengah-tengah kesenjangan antara
pemerintah dengan pihak swasta (dalam hal ini kiai dan sebagian besar
masyarakat Islam), justru Nyai Rahmatun mampu menjalin hubungan yang baik dan
erat dengan pihak pemerintah. Mereka saling menghormati dan menghargai di
tengah-tengah perbedaan tersebut.
(7):
Tawadu Dalam Urusan Ilmu
Ketawaduan Nyai Rahmatun dalam urursan ilmu pengetahuan sudah
tidak diragukan lagi. Buktinya banyak sekali. Salah satunya yaitu ketika ia
tidak gengsi dan malu belajar ilmu kepada putra-putri dan menantu-menantunya
yang dianggap alim dan kompeten di bidangnya. Ia tidak pilih-pilih apakah yang
dipejarinya itu ilmu agama, sains, teknologi dan lain sebagainya.
Pada pertengahan awal tahun 2000-an, dimana Nyai Rahmatun
sudah agak sepuh, ia pernah ngasok atau belajar secara sorogan kepada
salah satu menantunya yaitu Lota (Gus) Hamdi Syaf. Hal itu ia lakukan di
kediamannya desa Moncek Tengah, Lenteng, Sumenep. Alasannya karena selain ingin
menambah ilmu, ia juga ingin mendapat alirah barokah dari guru-gurunya sang
menantu.
Seperti diketahui bahwa Lora Hamdi pernah belajar dan mondok
di pondok pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep Madura. Dan salah satu
pengasuhnya yaitu almarhum K.H. Ahmad Basyir bin Abdullah Sajjad. Selain itu,
Lora Hamdi juga sempat mengaji kitab dan berguru kepada almarhum almaghfur lahu
K.H. Muhammad Ishomuddin dan K.H. Abdul Warits Ilyas.
Salah satu kitab favorit Nyai Rahmatun yaitu Ihya’ Ulumiddin.
Ia mempunyai kitab tersebut sebanyak 5 juz yang diperoleh dari santri alumninya
bernama Hj. Wardah yang bermukim di Madinah.
Menurut cerita Lora Hamdi kepada penulis, awalnya ia merasa
lancang, segan, dan malu untuk
memberikan pengajian kepada mertuanya tersebut. Karena menurutnya, Nyai
Rahmatun adalah sosok yang sudah alim dan ilmunya sudah tinggi. Sehingga Lora
Hamdi masih merasa kurang pantas mengajarinya. Namun karena didesak, akhirnya
Kiai Lora Hamdi bersedia memberikan pengajian kitab Ihya’ setiap pagi sesudah
berjamaah shalat Subuh.
Dalam pengajian tersebut, sebelumnya Nyai Rahmatun meminta
agar Lora Hamdi membacakan beberapa kalimat hingga satu alinea dalam kitab
tersebut lalu memberikan makna dalam tiap kalimatnya. Baru setelah itu, ia
meminta agar Lora Hamdi menjelaskan kalimat-kalimat dalam kitab tersebut dan
Nyai Rahmatun mencatatnya di buku tulis. Lora Hamdi pun mengikuti perintah tersebut. Namun diakui
oleh Lora Hamdi bahwa ia dibuat kalang kabut dan keringatan karena menurutnya
kitab Ihya’ karangan Imam Al-Ghazali tersebut tidak sama dengan kitab-kitab
yang lainnya. Ia tergolong kitab yang cukup rumit sehingga dalam banyak
kesempatan Lora Hamdi menyempatkan diri mempelajari lagi kitab tersebut sebelum
memberikan pengajian kepada sang mertua.
Seiring berjalannya waktu, akhirnya Lora Hamdi mulai terbiasa
memberikan pengajian kepada Nyai Rahmatun, sosok yang sangat hormati dan
dikaguminya tersebut. Dari hal itu pula, Lora Hamdi merasa bahwa secara tidak
langsung Nyai Rahmatun telah mengajari dirinya untuk bersikap tawadu meski
kepada orang yang lebih muda dan lebih “rendah” secara pangkat maupun status sosial.
(7):
Tawadu Dalam Urusan Ilmu
Ketawaduan Nyai Rahmatun dalam urursan ilmu pengetahuan sudah
tidak diragukan lagi. Buktinya banyak sekali. Salah satunya yaitu ketika ia
tidak gengsi dan malu belajar ilmu kepada putra-putri dan menantu-menantunya
yang dianggap alim dan kompeten di bidangnya. Ia tidak pilih-pilih apakah yang
dipejarinya itu ilmu agama, sains, teknologi dan lain sebagainya.
Pada pertengahan awal tahun 2000-an, dimana Nyai Rahmatun
sudah agak sepuh, ia pernah ngasok atau belajar secara sorogan kepada
salah satu menantunya yang bernama Hamdi Syaf. Hal itu ia lakukan di
kediamannya di desa Moncek Tengah, Lenteng, Sumenep. Alasannya karena selain
ingin menambah ilmu, ia juga ingin mendapat alirah barokah dari guru-gurunya
sang menantu.
Seperti diketahui bahwa Hamdi pernah belajar dan mondok di
pondok pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep Madura. Dan salah satu
pengasuhnya pada waktu itu yaitu almarhum K.H. Ahmad Basyir bin Abdullah
Sajjad. Selain itu, Hamdi juga sempat mengaji kitab dan berguru kepada almarhum
almaghfur lahu K.H. Muhammad Ishomuddin dan K.H. Abdul Warits Ilyas serta
kiai-kiai yang lainnya.
Salah satu kitab favorit Nyai Rahmatun yaitu Ihya’ Ulumuddin.
Ia mempunyai kitab tersebut sebanyak 5 juz yang diperoleh dari santri alumninya
bernama Hj. Wardah yang bermukim di Madinah.
Menurut cerita Hamdi kepada penulis, awalnya ia merasa
lancang, segan, dan malu untuk
memberikan pengajian kepada mertuanya tersebut. Karena menurutnya, Nyai
Rahmatun adalah sosok yang sudah alim dan ilmunya sudah tinggi. Sehingga Hamdi
merasa kurang pantas mengajarinya. Namun karena didesak, akhirnya Hamdi
bersedia memberikan pengajian kitab Ihya’ setiap pagi sesudah berjamaah shalat
Subuh kepada Nyai Rahmatun.
Metode pengajiannya yaitu Hamdi diminta membacakan beberapa
kalimat hingga satu alinea lalu memberikan makna dalam tiap kalimatnya. Baru
setelah itu, Nyai Rahmatun meminta agar Hamdi menjelaskan kalimat-kalimat dalam
kitab tersebut, dan Nyai Rahmatun mencatatnya di buku tulis. Hamdi pun mengikuti perintah tersebut. Namun diakui
oleh Hamdi bahwa ia dibuat kalang kabut dan keringatan karena menurutnya kitab
Ihya’ karangan Imam Al-Ghazali tersebut tidak sama dengan kitab-kitab yang
lainnya. Ia tergolong kitab yang cukup rumit sehingga dalam banyak kesempatan
Hamdi menyempatkan diri mempelajari lagi kitab tersebut sebelum memberikan
pengajian kepada sang mertua.
Seiring berjalannya waktu, akhirnya Hamdi mulai terbiasa
memberikan pengajian kepada Nyai Rahmatun, sosok yang sangat dihormati dan
dikaguminya tersebut. Dari hal itu pula, Hamdi merasa bahwa secara tidak
langsung Nyai Rahmatun telah mengajari dirinya untuk bersikap tawadu meski
kepada orang yang lebih muda dan lebih rendah secara pangkat, usia, maupun status sosial.
Post a Comment for "NYIMPEN TENTANG UMMI"