BELAJAR DARI “LAYANGAN PUTUS”
#film
BELAJAR DARI “LAYANGAN PUTUS”
Oleh: Milatul Hasanah
Membicarakan film “Layangan Putus” yang akhir-akhir-ini sedang trending dan ditayangkan oleh sebuah situs web series, awalnya, tidak membuat saya tertarik. Saya seringkali memilih menghindar dan melakukan hal lain dari pada nimbrung dalam diskusi-diskusi kecil seputar film tersebut. Teman-teman sepermainan saya pun hampir setiap hari membawa kabar terbaru tentang Kinan, Aris, Lydia dan entah siapa lagi.
Hal itu bukan hanya saya dapati di tempat kerja, namun di acara reunian, traveling, silaturrahim dan lain-lain. Bahkan di sosial media seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan yang lainnya juga tidak kalah ramai.
Melihat mereka yang seringkali dibuat heboh dan gemas dengan jalan ceritanya, saya hanya terdiam dan menjadi pendengar yang baik. “Film percintaan Indonesia ya? paling gitu-gitu aja, endingnya bisa ditebak!” celutuk saya, mencoba memancing sedikit kekesalan mereka, di sela-sela keseriusan mereka mendiskusikannya. “Film ini beda dengan yang lainnya, ia sangat cocok dengan zaman sekarang, tema perselingkuhan! ”, sahut salah satu teman saya dengan nada tinggi, seolah-olah suaminya sedang “ada main” dengan WIL (Wanita Idaman Lain)-nya.
Saya tidak bergeming mendengar sahutan teman saya itu. Dengan wajah ekspresif, iapun segera menyodorkan ponselnya, sambil memperlihatkan film yang sedang berlangsung tersebut, entah seri keberapa. “Cukup bagus sih” ucapku singkat, saat melihat aktor dan aktris berbakat Reza Rahardian dan Putri Marino.
Beberapa adegan lebay dan kiss by lips si Aris dengan perempuan selingkuhannya, Anya Geraldine (nama aslinya) tersebut sempat mengganggu penglihatan saya. Beberapa teman yang belum menikah dibuat cekikikan dan menahan nafasnya yang mulai tidak teratur. “Penasaran ya? wkwkwk…” , saya mencoba menggoda salah satu teman saya yang belum menikah tersebut. Dia hanya tertawa tanpa memalingkan mukanya sedikitpun dari ponsel temannya itu.
“Sekali-kali naik level lah, keren dikit napa?” ledek saya seraya beranjak meninggalkan mereka untuk mengerjakan suatu hal. “Maksudmu, naik level gimana?”, seorang teman lainnya bertanya sambil menyeret jilbab saya, bercanda. “Ya, sekali-kali coba nonton film heroik The Avengers, Dun dan Black Widow. Atau kalau mau yang romantis-romantis, intip drakor Sixth Sens Kiss, atau Tune in for Love. Kalau mau yang horror-horor, Indonesia punya beberapa film bagus; Pengabdi Setan, Jelangkung, Suzanna, Suster Ngesot dan masih banyak lagi”.
Teman-teman saya hanya termangu mendengar beberapa daftar film yang saya rekomendasikan tadi. Namun sepertinya mereka tidak tertarik sama sekali. Alih-alih merespons anjuran saya itu, mereka malah terus melanjutkan menonton film Layangan Putus, dengan muka tegang, dan kadang-kadang tersenyum tipis, atau malah histeris.
Ketika melayat ke rumah seorang famili, seorang nenek bercerita tentang cucunya yang meninggal gara-gara kesetrum aliran listrik dari sebuah kabel yang disangkanya tali layangan yang putus. Si cucunya tersebut memang dari tadi pagi sedang mengincar sebuah layangan yang bagus di atas angkasa yang tinggi. Dan ia berharap agar talinya putus, sehingga ia dapat memungut layangan tersebut dan memilikinya.
Sepulang dari sekolahnya, si cucu dari nenek tersebut melihat layangan tersebut benar-benar putus dari talinya dan jatuh tepat di atas pohon pisang di sawah tetangganya. Tanpa membuka seragam sekolahnya, dengan wajah sumringah iapun langsung bergegas meraih kabel listrik yang bergelantungan dan dikira tali layangan tersebut. Namun nahas, dalam hitungan menit bahkan mungkin detik, nyawanya tidak tertolong.
Mendengar cerita nenek tersebut, sayapun teringat film yang sedang booming saat ini. Astaghfirullah! Saya sedih sekaligus merasa lucu. Ingin rasanya saya tertawa mengingat reaksi reman-teman saat menontonnya. Namun Alhamdulillah saya dapat menahan diri untuk tidak tertawa. Saya rasa pasti nenek tersebut tidak tahu menahu mengenai film Layangan Putus yang sedang trending ini.
Musim kemarau mengajak masyarakat pedesaan untuk bermain layang-layang. Khususnya pada pukul 15.oo WIB. Sore hari dipilih karena selain sengatan matahari tidak terlalu terik, angin pada jam tersebut juga dianggap stabil dan baik untuk menarik ulur layangan. Para ayah dan anak laki-lakinya biasanya pergi ke tempat-tempat berdataran tinggi dan lapang. Tidak sedikit pula yang mengincar layangan putus. Terutama bagi yang tidak mempunyai layang-layang. Atau layangannya putus dan jatuh di tempat yang tidak diketahui dan telah diambil oleh orang lain.
Ketika melihat layangan putus, biasanya mereka akan berlarian untuk memperebutkannya. Sehingga tidak jarang dari mereka ada yang terjatuh dan terluka saat kejadian tersebut. Hal itu disebabkan karena pandangannya mengarah ke atas dan tidak memedulikan apa yang ada di depannya.
Yang tragis adalah saat ada seorang bocah terjatuh ketika mengejar layangan putus. Kaki si bocah tersebut terpeleset dan kemudian tubuhnya meluncur dari sebuah tebing yang cukup tinggi, sehingga terluka parah dan dilarikan ke rumah sakit. Untung nyawanya masih tertolong.
Layangan putus juga pernah menarik perhatian seorang santri di sebuah pondok pesantren di Madura. Waktu itu, sekitar pertengahan akhir tahun 1990-an, seorang santri putri sedang menyabuti uban ibu nyai, pengasuhnya di teras depan kediamannya. Sebelumnya, sang ibu nyai berpesan agar santrinya tersebut tidak melihat kearah layangan yang sedang berseliweran jauh di atas sana. Santri tersebut diminta berkonsentrasi menyabuti uban-ubannya.
Sebagai bukti bahwa si santri benar-benar tidak melihat layangan dan hanya berkonsentrasi menyabuti ubannya, sang ibu nyai meminta agar ia mengumpulkan uban-uban yang berhasil ia cabuti, di atas tangan si ibu nyai. Namun hingga satu jam lebih, dia tidak meletakkan selembar ubanpun di tangan sang pengasuh. Padahal jari-jarinya sangat cekatan menyelisik helai demi helai rambut gurunya tersebut.
Hal itu membuat si ibu nyai curiga, jangan-jangan santrinya itu dari tadi melihat layang-layang dan tidak mencari uban-ubannya. Hingga tiba pada saat si santri berteriak histeris “heeeiii…lihaaat…naaah….putus kau sekarang!” ucap si santri dengan suara cukup keras ketika melihat layangan putus. Tanpa sadar ia pun bersorak dan bertepuk tangan, “geeerrrr…”Teman-temannya tertawa melihat tingkah konyol dan culun-nya itu.
Rupanya sejak awal mencari uban, ia menahan diri untuk tidak bereaksi apapun saat keasyikan menyaksikan layang-layang. Iapun mengedipkan mata kepada teman-temannya sebagai isyarat agar tidak memberi tahukan hal tersebut kepada ibu nyainya. Melihat kejadian tersebut, sang ibu nyai bukannya marah, tetapi malah ikutan tertawa melihat muka merahnya si santri karena saking malunya.
Dari satu sudut film Layangan Putus, kita bisa belajar bahwa perselingkuhan bukanlah hal yang baik, namun sebaliknya. Hubungan toxic dari cinta segi tiga seringkali berakhir derita. Memang perselingkuhan terlihat menyenangkan bagi satu pihak, namun sangat menyakitkkan bagi pihak yang lain.
Maka di zaman yang serba cepat dan mudah (instan) ini, sepertinya “menahan diri” dari berbagai macam godaan yang tidak jarang justru datang dari diri sendiri adalah suatu keniscayaan. Karena godaan yang datang dari diri sendiri rupanya lebih berat dari pada datang dari orang lain. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS Al-Baqarah:218).
Para ayah yang menyukai bermain layangan di musim kemarau, mungkin sebaiknya harus berhati-hati dalam menjaga anak laki-lakinya saat mengincar layangan putus. Mereka mestinya belajar dari beberapa kejadian tragis dari sifat terburu-buru, khususnya dalam memperebutkan layangan putus. Karena terkadang bukan bahagia yang di dapatkan, tapi derita di akhir cerita.
Seorang santri juga seharusnya patuh kepada gurunya selama memerintah kepada kebaikan. Dan menahan diri dari apa-apa yang dilarang, termasuk menyaksikan layangan putus saat mencari uban.
Post a Comment for "BELAJAR DARI “LAYANGAN PUTUS”"